Pendahuluan
Sebuah gerakan mahasiswa haruslah merupakan suatu
aksi massa. Didahului oleh rapat umum yang dihadiri oleh ribuan mahasiswa;
demonstrasi mahasiswa yang membawakan suara hati nurani rakyat; didukung oleh
seluruh masyarakat mahasiswa dalam jiwa dan semangat persatuan dan kesatuan.
Harus dikoordinir secara resmi, melalui saluran organisasi mahasiswa, sedapat
mungkin yang mencerminkan mufakat bulat antara seluruh organisasi mahasiswa
ekstra dan intrauniversitas. Bebas dari vestedinterest. Tidak mempunyai tujuan
politik dan tidak ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan politik. Harus
berdasarkan keadilan dan kebenaran, sesuai dan demi perjuangan Orde Baru. Berlandaskan
semangat partnership ABRI-Rakyat. Di dalam rangka mempertahankan dan membina
Pancasila, dan sama sekali bukanlah yang dapat menguntungkan gerilya politik
komunis, atau New Left, atau berbau orde lama. Dan yang terakhir haruslah
konstitusional (Marsilam Simanjuntak, dalam LP3ES , 1985: 166).
Apabila kutipan di atas diterima secara aklamasi,
maka gerakan mahasiswa pasti akan tergambarkan penuh serba hangar-bingar, serba
penuh gebyar, serta pasti ramai. Apa yang diungkapkan Marsilam Simanjuntak itu
tidak sepenuhnya salah. Tentu saja dengan catatan, asal gerakan mahasiswa itu
merupakan usaha atau kegiatan lapangan sosial (politik dan sebagainya), seperti
pemakaian pada “Gerakan Kaum Buruh”atau “Gerakan Pemberantasan Buta Huruf”, dan
sebagainya (Poerwodarminta, 1982: 316-317). Tak boleh dilupakan juga, upaya itu
pasti terarah, terorganisir dan memiliki tujuan tertentu. Dengan demikian
sebuah gerakan mahasiswa memang tidak harus penuh gebyar, tidak harus serba
besar. Yang kecil pun boleh (jumlah anggotanya tidak banyak). Hal ini pun
memang kemudian diakui sendiri oleh Marsilam Simanjuntak. Betapapun
kecilnya-seperti yang telah dilakukan dalam gerakan -gerakan mahasiswaseperti
MM (Mahasiswa Menggugat), KAK (Komite Anti Korupsi), Golput, dan lain-lain –
tetapi karena ini dilakukan oleh mahasiswa, lapisan pemuda dan intelektual,
maka ia akan selalu diperhitungkan penguasa. Tanpa harus dicari definisinya
lebih dulu
(Marsilam Simanjuntak, dalam LP3ES, 1975: 173).
(Marsilam Simanjuntak, dalam LP3ES, 1975: 173).
Gerakan mahasiswa bisa terjadi di dalam kampus
atau bisa di luar kampus. Hanya saja memang tidak perlu semua mahasiswa terlibat.
Pada umumnya, para aktivis mahasiswalah yang bergerak. Aktifis di sini
diartikan sebagai pemuda (mahasiswa) yang selain studi juga giat di dalam
kelompok-kelompok diskusi, Lembaga Swadaya Masyarakat serta
organisasi-organisasi ekstra dan intra universitas serta kepemudaan (Prisma,
Juni 1987: 4). Namun demikian telaah terhadap gerakan mahasiswa ini terlebih difokuskan
kepada gerakan mahasiswa yang ada di luar kampus, yang pada umumnya bergerak
dalam lapangan sosial dan politik. Mahasiswa di samping mempunyai tugas belajar,
juga mengemban fungsi lain, sebagai unsur dari kehidupan masyarakat yang dinamik
dan sedang menuju kehidupan modern, mahasiswa merupakan golongan masyarakat
dengan hak dan kewajiban yang sama seperti golongan lainnya (Arbi Sanit, dalam
Philip G.Altbach, 1988: IX-X).
Hakekat dari gerakan politik mahasiswa pada
umumnya adalah perubahan. Ia tumbuh karena adanya dorongan untuk mengubah
kondisi kehidupan yang ada untuk digantikan dengan situasi yang dianggap lebih
memenuhi harapan (Philip G.Albatch, 1988: XIII). Di dalam artikel pengantarnya,
Albatch menekankan dua fungsi gerakan mahasiswa sebagai proses perubahan, yaitu
menumbuhkan perubahan sosial dan politik. Di dalam masyarakat industri, peranan
sosialnya lebih menonjol, sedangkan di masyarakat yang sedang berkembang
peranan politiknya lebih dominan.
Gerakan Mahasiswa
Bisa
kita lihat dari peristiwa yang terjadi pada Mei 1998. Sebuah peristiwa yang
tidak mungkin dapat dilupakan begitu saja. Peristiwa yang mengubah sejarah
Indonesia. Gerakan yang diawali dengan krisis moneter yang terjadi pertengahan
tahun 1997. Harga barang-barang melambung tinggi, semuanya harga barang
kebutuhan pokok naik hingga tidak dapat dijangkau oleh masyarakat. Mahasiswa
muali gerah dengan kepemimpinan Soeharto yang tiada akhirnya itu. Selama 32
tahun Soeharto memimpin negeri ini. Hal tersebut menuntut ratusan bahkan ribuan
mahasiswa turun kejalan untuk mendesak Soeharto yang kala itu menjabat sebagai
Presiden untuk turun dari jabatannya. Mereka berjuang membawa aspirasi rakyat,
tidak hanya karena kepentingan sendiri. Mereka melakukannya bagi rakyat
Indonesia. Mereka mendapat dukungan yang luar biasa dari masyarakat. Sungguh
momen yang sangat menggetarkan hati.
Simbol Rumah Rakyat yaitu Gedung DPR/MPR menjadi
tujuan utama mahasiswa dari berbagai kota di Indonesia, seluruh komponen
mahasiswa dengan berbagai atribut almamater dan kelompok semuanya tumpah ruah
di Gedung Dewan ini, tercatat FKSMJ (Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarta),
FORBES (Forum Bersama), KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) dan
FORKOT (Forum Kota). Sungguh aneh dan luar biasa, elemen mahasiswa yang berbeda
paham dan aliran dapat bersatu dengan satu tujuan,
turunkan Soeharto.
Soeharto akhirnya menyatakan mengundurkan diri
dari jabatan Presiden RI secara tidak terduga pada tangal 21 Mei 1998 dan
kemudian menyerahkan jabatan Presiden RI kepada Wakil Presiden B.J Habibie.
Tindakan itu dilakukannya setelah mendapat tekanan berat dari kalangan
perguruan tinggi dan masyarakat menyusul krisis ekonomi dan moneter dan
didahului oleh musim kemarau berkepanjangan akibat “El Nino”. Sejak waktu
itulah, Indonesia memasuki masa yang dikenal dengan “Era Reformasi” yang sekali
lagi membukakan pintu bagi berlangsungnya proses demokratisasi.
Organisasi yang berperan
Banyak
sekali organisasi-organisasi yang berperan dalam gelombang aksi reformasi tahun
1998 dan setelahnya. Mulai dari organisasi yang ada di Aceh, Medan, Sumatra
Barat, Bandung, Jakarta, Tangerang, Bogor, Yogyakarta, Solo, Bali, Purwokerto,
Surabaya, Malang dan Makassar.
Di
Yogyakarta sendiri organisasi yang
terlibat adalah SMKR (Solidaitas Mahasiswa untuk Kedaulatan Rakyat),
KPRP (Komite Perjuangan Rakyat untuk Perubahan), FKMY (Forum Komunikasi
Mahasiswa Yogyakarta), PPY (Persatuan Perjuangan Pemuda Yogyakarta), FAMPERA
(Front Aksi Mahasiswa Peduli Rakyat), LMMY (Liga Mahasiswa Muslim Yogyakarta),
SPPR (Solidaritas Pemuda untuk Perjuangan Rakyat), KeMPeD (Keluarga Mahasiswa
Pecinta Demokrasi), AMUKRA (Aliansi Mahasiswa untuk Kedaulatan Rakyat – UPN
“Veteran”) dan dari UGM sendiri ada DEMA (Dewan Mahasiswa UGM).
Aktivis
Gerakan rakyat tahun
1998 tak akan berhasil menggulingkan Suharto tanpa peran mahasiswa dan aktivis.
Empat mahasiswa Elang Mulya Lesmana, Hafidhin Royan, Hery Hertanto, dan
Hendriawan Sie, gugur pada Tragedi 12 Mei 1998.
Dari Yogykarta
sendiri yang menjadi korban adalah Andi Arief. Pada
tahun 1998 dia menjadi Ketua Senat Mahasiswa Fisip UGM 1993-1998,
juga menjadi Ketua Umum Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi Cabang
Yogyakarta tahun 1996. Aktivitasnya ini menyebabkan dia diculik oleh Komando
Pasukan Khusus yang dipimpin Prabowo Subianto. Namun sekarang dia menjadi Staf
khusus presiden bidang bantuan sosial dan bencana.
Tanpa
mereka (mahasiswa) yang tergerak hatinya untuk merubah nasib Indonesia, kita
tidak akan menjadi seperti sekarang ini.